STUDI TAFSIR TARBAWI
Keutamaan Menahan Amarah
Oleh:
Nuzula
Akhlaqun Nisa
2015010202
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
(FITK)
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2017
Sesuai dengan fakta yang ada bahwa, pada hakikatnya
setiap orang mempunyai kadar kecerdasan dan kecenderungan emosi yang berbeda
satu sama lain. Karena
setiap orang mengalami berbagai pengalaman yang menimbulkan berbagai
emosi. Ungkapan-ungkapan kesedihan,
kemarahan, kecemasan, dan sebagainya seringkali muncul pada diri seseorang
dengan pengalaman atau realitas kehidupan yang ia hadapi.
Allah
SWT berfirman dalam surat Al Imran ayat 134:
اَلَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّاءِوَالضَّرَّاءِوَالْـكَاظِمِينَ
الْغَـيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّا سِ ۗ وَاللهُ يُحِبُّ الْـمُحْسِنِيْنَ ۚ
Artinya: “(yaitu)
orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai
orang yang berbuat kebaikan” (3:134)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan umat
Muslim agar senantiasa betaqwa kepada-Nya. Orang yang bertakwa menurut ayat ini bukan hanya mengerjakan
perbuatan yang diwajibkan. Sekalipun mereka dalam keadaan sulit, mereka tidak
berhenti menginfakkan harta mereka. Dalam ayat ini digambarkan, mereka
senantiasa berinfak itu dalam keadaan apa pun, baik dalam keadaan mudah maupun
sulit. Kejujuran, keadilan, dan kesabaran, merupakan bagian
yang menonjol dalam ayat-ayat taqwa. Dalam konteks ini, kesabaran dipahami
sebagai keharmonisan dan keteguhan diri dalam menghadapi segala cobaan hidup. Selanjutnya dalam ayat
ini Allah SWT berfirman: وَالْـكَاظِمِينَ الْغَـيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّا
سِ
(dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain).
Kata الْغَـيْظَ berarti menahan amarah. Perasaan marah biasanya
dilampiaskan dalam bentuk ucapan seperti umpatan, celaan, dan semacamnya atau
dalam bentuk perbuatan seperti memukul, menendang, dan semacamnya. Menahan
marah berarti menahan diri dari ucapan atau perbuatan yang menjadi bentuk
pelampiasan marah tersebut. Menahan diri untuk melampiaskan kemarahannya dan
mampu menahan kemarahan adalah salah satu jenis sifat sabar.
Sifat demikian juga digambarkan dalam QS Asy-Syura ayat 37
وَالَّذِ يْنَ
يَجْتَنِبُوْ نَ كَبـٰئِرَ الاِثْمِ وَالْفَوَا حِشَ وَاِذَامَا غَضِبُوْا هُمْ يَغْفِرُوْنَ ۚ
Artinya: ” dan juga (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa
besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah segera memberi
maaf.” (42;37)
Perasaan marah tentu manusiawi. Apalagi
kepada orang yang berbuat salah dan jahat. Akan tetapi, Islam mengajarkan tidak
sepatutnya seorang Muslim melampiaskan kemarahannya. Menahan amarah jauh lebih
baik daripada melampiaskannya. membalas
kejahatan yang dilakukan seseorang memang dibolehkan. Akan tetapi, syariah
menetapkan bahwa memberikan maaf lebih diutamakan.
Firman
Allah, “Dan bagi orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim
mereka membela diri.” Yaitu, di kalangan mereka ada kekuatan untuk membela diri
dari orang yang menzalimi dan belaku sewenang-wenang terhadap mereka. Mereka
bukanlah orang-orang yang lemah dan bukan pula orang-orang yang merendahkan
diri mereka sendiri, bahkan mereka sanggup untuk mengadakan pembalasan kepada
orang-orang yang telah berlaku sewenang-wenang terhadap dirinya. Walau begitu,
mereka dalam posisi berkuasa, mereka tetap memberikan maaf. Seperti maaf yang
telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw kepada Ghaurats bin Harits yang hendak
membunuh Rasulullah ketika beliau tidur. Kemudian Rasulullah saw terbangun dan
di tangan Ghaurats sebuah pedang terhunus. Lalu beliau membentaknya dan
terjatuhlah pedang itu dari tangannya. Kemudian Rasulullah saw mengambil pedang
itu dari tangannya, tetapi beliau memaafkan perbuatannya. Demikian pula rasa
maaf Rasulullah saw yang beliau berikan kepada Lubaid ibnu A’sham yang telah
berani menyihir beliau. Akan tetapi, Rasulullah tidak mengembalikan sihir itu
kepada Lubaid dan tidak mencelanya walaupun beliau sanggup untuk melakukan apa
saja terhadap dirinya.
Allah SWT
berfirman dalam surat An-Nahl ayat 126:
وَاِنْ عَا قَبْتُمْ فَعَا قِبُوْابِمِثْلِ مَا
عُوْقِبْتُمْ بِهٖ ۗ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَخَيْرٌ لِّلصّٰـبِرِيْنَ
Artinya: “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang
sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar,
sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (16;126)
Ayat tersebut mengatakan, Bila mereka
berbuat lebih dari itu dan melakukan hal yang melampaui batas, kalian juga
dapat melakukan hal yang sama. Namun bila kalian tidak melakukan pembalasan dan
memilih untuk bersabar, sikap ini malah menguntungkan.
Al-Quran memerintahkan umat Islam agar
membantah pandangan orang lain dengan cara yang baik. Karena tujuan yang
diinginkan adalah menyeru orang pada kebenaran, bukan berdebat dan adu mulut
yang semakin kuatnya sikap keras kepala dan penentangan terhadap kebenaran. Membahas
satu masalah dengan mereka yang menentang harus berdasarkan kebenaran, keadilan
dan kejujuran, bukan kelicikan, kebohongan dan penghinaan. Dari ayat
tersebut terdapat pelajaran yang dapat diambil:
1.
Saat menyikapi musuh dan mereka
yang menentang, Al-Quran memerintahkan kita untuk tetap bersikap adil dan tidak
melanggar batas.
2.
Dalam kesabaran adalah kenikmatan
yang tidak dimiliki oleh balas dendam. Saat menghadapi para penentang, hukum dengan
sendirinya tidak dapat berbuat apa-apa perlu adanya upaya untuk menjaga akhlak.
Sebagai balasannya, pelakunya dijanjikan mendapat pahala yang amat
besar. Rasulullah SAW pernah bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ يَسْتَطِيْعُ أَنْ
يُنَفِّذَهُ دَعَاهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَا مَتِ عَلَى رُءُوْسِ الْخَلَائِقِ
حَتَّى يُجَيِّرَهُ فِي أَيِّ الْحُوْرِ شَاءَ
Siapa saja yang menahan marah, padahal dia
mampu melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya pada Hari Kiamat di atas
kepala para makhluk hingga dipilihkan baginya bidadari yang dia sukai (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Islam tidak hanya memerintahkan umatnya untuk menahannya. Rasulullah
SAW mengajarkan apabila seseorang marah hendaklah ia diam, Beliau bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Apabila
seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam.”
Syariah juga mengajarkan
metode untuk meredakan kemarahan. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ
الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ
وِإِنَّمَا تُطْفَأْ النَّارُ بِالْمَاءِ فَاِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَ
ضَّأْ
Sesungguhnya marah itu dari setan dan
sesungguhnya setan itu diciptakan dari api, sementara api bisa dipadamkan oleh
air. Karena itu, jika salah seorang di antara kalian sedang marah, hendaklah
diaberwudhu (HR Abu Dawud dari Athiyah).
Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa berdiri itu siap untuk balas
dendam, sedang orang duduk tidak siap untuk balas dendam, sedang orang
berbaring itu sangat kecil kemungkinan untuk balas dendam.
Maksudnya ialah hendaknya seorang muslim mengekang amarahnya dalam
dirinya dan tidak menujukannya kepada orang lain dengan lisan dan perbuatannya.
Rasulullah
SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضى الله عنه أَنَّ رَجُلاً قاَلَ
لِلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَوْضِنِى قَالَ لاَتَغْضَبْ فَرَدَّدَمِرَارًا
قَالَ لاَتَغْضَبْ
Artinya: Dari Abu Hurairoh rodhiyallahu ‘anhu,
Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam (kemudian) mengatakan, “Wahai Nabi berikanlah
aku wasiat/nasihat”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan,
“Janganlah engkau marah”. Kemudian orang tadi berkata lagi, “Wahai Nabi
berikanlah aku wasiat/nasihat”. Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam pun
mengatakan, “Janganlah engkau marah”
لَاتَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّتُ
“Janganlah
engkau marah, niscaya bagimu surga” (HR Ibnu Abid Dunya)
Karena jika
orang sedang marah maka keluarlah darinya ucapan-ucapan yang kotor, keji,
melaknat, mencaci-maki dan lain-lain yang dampak negatifnya besar dan ia akan
menyesal karenanya ketika marahnya hilang. Jika ia diam, maka semua keburukan
itu hilang darinya. Bahkan, banyak
pertikaian dan pembunuhan yang terjadi karena menuruti amarah. Itu merupakan
dampak tidak menahan diri ketika amarah bergejolak. Oleh karena itu, islam
menganjurkan agar kita selalu menahan diri kita apabila kemarahan sedang
bergejolak. Kita dianjurkan untuk menahan diri ketika ada sesuatu hal yang menjadi
sebab timbulnya kemarahan. Allah SWT berfrman dalam surat An-Nahl ayat 128:
اِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ هُمْ
مُّحْسِنُوْنَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan
orang-orang yang berbuat kebaikan.” (16;128)
Allah swt menyuruh Rasulullah saw
agar mengajak makhluk kepada Allah dengan hikmah, yakni dengan berbagai larangan
dan perintah yang terdapat di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, agar mereka waspada
terhadap siksa Allah.
“Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya,” yakni Dia
mengetahui siapa yang celaka di antara mereka dan siapa yang bahagia.
“Dan jika kamu memberikan balasan,
maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan
kepadamu.” Allah swt menyuruh berlaku adil dalam hal qishash dan kesepadanan
dalam meminta hak. Yakni, jika salah seorang di antara kamu mengambil haknya,
maka ambillah dengan kadar yang sama.
Hadits dan ayat tersebut menunjukkan tentang
keutamaan menahan amarah. Karena, menuruti amarah menimbulkan banyak kejelekan
dan penyesalan. Serta, menghalangi dari berbagai kebaikan yang ada apabila
bersabar dan menahan amarah. Sebagai contoh, betapa banyak seorang suami yang
menceraikan istrinya ketika dia marah dan menyesal di kemudian hari. Atau,
betapa seringnya seorang memutuskan persaudaraan atau pertemanan karena
menuruti amarahnya dan pada akhirnya menyesali perbuatannya.
Marah
merupakan salah satu jenis emosi yang dianggap sebagai emosi dasar dan bersifat
universal. Semua orang memiliki emosi marah. Orang yang marah bisa menjadi
kejam dan tidak berperikemanusiaan. Marah pun sering bernilai negatif bagi
individu.
Emosi
marah adalah emosi yang paling sering muncul dalam pembicaraan sehari-hari
karena masyarakat umumnya mengidentikkan istilah emosi dengan marah. Menarik
untuk disimak bahwa ketika membahas emosi, para ahli tidak memulainya dengan
definisi yang lazim, pembahasan tentang emosi biasanya diawali dengan
contoh-contoh konkrit dalam kehidupan sehari-hari yang nyata dirasakan, baik
dalam kesendirian maupun dalam keramaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar