Sabtu, 20 Mei 2017

TAFSIR QS AN-NISA AYAT 1 by:Mazaya Linda Shilmina

TAFSIR TARBAWI
(PERNIKAHAN TAFSIR QS.AN-NISA AYAT 1)
Dosen pengampu:  Abdulloh Maksum, Alh., S.Pd.I





Disusun oleh :
Mazaya Linda Shilmina (2015010002)
PAI 4C


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH  DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN JAWA TENGAH
DI WONOSOBO
2016/2017




KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena nikmat dan ridhoNya saya dapat menyelesaikan tulisan ini. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Agung Muhammad SAW.
Ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu saya menyusun tulisan ini, baik teman maupun dosen.
Tulisan ini disusun agar pembaca dapat mengetahui tentang Tafsir QS.An-Nisa ayat 1 yang membahas tentang perintah untuk menikah. Semoga tulisan ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun tulisan ini masih banyak kekurangan. Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Terima kasih.

Wonosobo, 16 Mei 2017



Penulis



A.    Tafsir Qur’an Surat An-Nisa ayat 1
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١
Artinya:
 “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya; Allah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (pelihara pula) hubungan silaturahim. Sesunggungnya Allah Maha Mengawasi kamu.”

            Setelah jelas persoalan kitab suci yang merupakan jalan menuju kebahagiaan dan jelas pula asas dari segala kegiatan, yaitu tauhid, tentu saja diperlukan persatuan dan kesatuan dalam asas itu. Surah An-Nisa mengajak agar senantiasa menjalin hubungan kasih sayang antar seluruh manusia. Karena itu, ayat ini, walau turun di Madinah yang biasanya panggilan ditujukan kepada orang yang beriman
 (ياأيّها الّذين  امنؤا) ya ayyuha alladzina amanu, demi persatuan dan kesatuan, ayat ini mengajak seluruh manusia yang beriman dan tidak beriman, Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, yakni Adam atau jenis yang sama, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara seorang manusia dan yang lain, dan Allah menciptakan darinya, yakni dari diri yang satu itu pasangannya, dan dari keduanya, yakni dari Adam dan istrinya atau dari lelaki dan perempuan yang berpasangan itu Allah memperkembangbiakkan laki-laki yang banyak dan perempuan pun demikian. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan pelihara pula hubungan silahturahim. Jangan putuskan hubungan tersebut karena apa pun yang terjadi sesungguhnya Allah terus-menerus-sebagaimana dipahami dari kata (كان) kana-Maha Mengawasi kamu.
            Seperti dikemukakan di atas, ayat ini sebagai pendahuluan untuk mengantar lahirnya  persatuan dan kesatuan dalam masyarakat, serta bantu membantu dan saling menyayangi karena semua manusia berasal dari satu keturunan, tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan, kecil dan besar, beragama atau tidak beragama. Semua dituntut untuk menciptakan kedamaian dan rasa aman dalam masyarakat serta saling menghormati hak-hak asasi manusia.
            Perintah-Nya untuk bertakwa kepada Tuhanmu (ربّكم) rabbakum, tidak menggunakan “Allah”, untuk lebih mendorong semua manusia berbuat baik karena Tuhan yang memerintahkan ini adalah rabb, yakni yang memelihara dan membimbing, serta agar setiap manusia menghindari sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Tuhan yang mereka percayai sebagai Pemelihara dan yang selalu menginginkan kedamaian dan kesejahteraan bagi semua makhluk. Di sisi lain, pemilihan kata itu membuktikan adanya hubungan antara manusia dan Tuhan yang tidak boleh diputus. Hubungan manusia dengan-Nya itu sekaligus menuntut agar setiap orang senantiasa memelihara hubungan antara manusia dan sesamanya.
            Firman-Nya: (من نفس واحدة) min nafsin wahidah mayoritas ulama memahaminya dalam arti Adam as., dan ada juga yang memahaminya dalam arti jenis manusia lelaki dan wanita. Syaikh Muhammad ‘Abduh, al-Qasimi, dan beberapa ulama kontemporer lainnya memahami demikian sehingga ayat ini sama dengan firman-Nya dalam (QS. Al-Hujurat [49]:13: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di Antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di Antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal.”
            Surah Al-Hujurat memang berbicara tentang asal kejadian manusia yang sama dari seorang ayah dan ibu, yakni sperma ayah dan ovum/indung telur ibu, tetapi tekanannya pada persamaan hakikat kemanusiaan orang per-orang karena setiap orang, walau berbeda-beda ayah dan ibunya, unsur dan proses kejadian mereka sama. Ada pun ayat An-Nisa ini, walaupun menjelaskan kesatuan dan kesamaan orang per-orang dari segi hakikat kemanusiaan, konteksnya untuk menjelaskan banyak dan berkembang biaknya mereka dari seorang ayah, yakni Adam dan seorang ibu, yakni Hawa. Ini dipahami dari pernyataan Allah memperkembangbiakkan laki-laki banyak dan perempuan dan ini tentunya baru sesuai jika kata (نفس واحدة) nafsin wahidah dipahami dalam arti ayah manusia seluruhnya (Adam as.) dan pasangannya (Hawa) lahir laki-laki dan perempuan yang banyak.
            Memahami nafsin wahidah sebagai Adam as. menjadikan kata (زوجها) zujaha, yang secara harfiah bermakna pasangannya, adalah istri Adam as. yang popular bernama Hawa. Karena ayat ini menyatakan bahwa pasangan itu diciptakan dari nafsin wahidah yang berarti Adam, para mufasir terdahulu memahami bahwa istri Adam diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki. Banyak penafsir menyatakan bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok dan karena itu-tulis al-Qurthubi dalam tafsirnya-perempuan bersifat غوجاء)) ‘auwja’l bengkok. Pandangan ini mereka perkuat dengan hadits Rasul Saw. yang menyatakan: “Saling berwasiatlah untuk berbuat baik kepada wanita karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok kalau engkau membiarkannya, ia tetap bengkok. Dan bila engkau meluruskannya, ia akan patah.” (HR. at-Tirmidzi melalui Abu Hurairoh).
            Hadits ini dipahami oleh ulama-ulama terdahulu dalam arti harfiah. Namun, tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya dalam arti metafora, bahkan ada yang menolak keshahihannya. Yang memahami secara metafora menyatakan bahwa hadits itu mengingatkan para pria agar menghadapi perempuan dengan bijaksana karena ada sifat dan kodrat bawaan mereka yang berbeda dengan pria sehingga, bila tidak disadari, akan mengantar pria bersikap tidak wajar. Tidak ada yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha, akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
            Thabathaba’i dalam tafsirnya menulis bahwa ayat diatas menegaskan bahwa perempuan (istri Adam as.) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam dan ayat tersebut sedikitpun tidak mendukung paham yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Memang tidak ada petunjuk dari Al-Qur’an yang mengarah kesana atau bahkan mengarah kepada penciptaan pasangan  Adam dari unsur yang lain.
            Ide kelahiran Hawa dari tulang rusuk Adam, menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, timbul dari apa yang termaktub dalam perjanjian lama (kejadian II:21-22) yang menyatakan bahwa ketika Adam tidur lelap, diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka, dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu dibuat Tuhan seorang perempuan.
            Tulis Rasyid Ridha: “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam perjanjian lama, seperti redaksi diatas, niscaya pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim.”
            Perlu dicatat sekali lagi bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-wanita selain Hawa demikian juga atau lebih rendah dibanding laki-laki. Ini karena semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan wanita sebagaimana bunya surat Al-Hujurat diatas, dan sebagaimana penegasannya, “Sebagian kamu dari sebagian yang lain”(QS.Al-Imran[3]:195). Lelaki lahir dari pasangan pria dan wanita, begitu juga wanita. Karena itu, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya. Kekuatan lelaki dibutuhkan oleh wanita dan kelemahlembutan didambakan oleh pria. Jarum harus lebih kuat daripada kain, dan kain harus lebih lembut daripada jarum. Kalau tidak, jarum tidak akan berfungsi dan kain pun tidak akan terjahit. Dengan berpasangan, akan tercipta pakaian yang indah, serasi dan nyaman.
            Penegasannya bahwa (خلق منها زوجها) khalaqa minha zaujaha/Allah menciptakan darinya, yakni dari nafsin wahidah itu pasangannya; mengandung makna bahwa pasangan suami istri hendaknya menyatu sehingga menjadi diri yang satu, yakni menyatu dalam perasaan dan fikirannya, dalam cita dan harapannya, dalam gerak dan langkahnya, bahkan dalam menarik dan menghembuskan nafasnya. Itu sebabnya pernikahan dinamai (زواج) zawaj yang berarti keberpasangan disamping dinamain (نكاح) nikah yang berarti penyatuan rohani dan jasmani. Suami dinamai (زوج) zauj dan istri pun demikian.
            Kata (بثّ) batstsa mengandung makna menyebarluaskan dan membagi-bagi sesuatu yang banyak, yakni mengembang-biakkan dengan banyak. Jika anda berkata menyebarluaskan, maka itu mengandung makna keluasan tempat, berbeda jika anda berkata menghimpun, tempat yang anda butuhkan untuk himpunan itu lebih kecil dibanding jika anda menyebarnya. Ini berarti bahwa anak-anak cucu yang lahir dan pengembangbiakannya itu menempati banyak tempat di permukaan bumi ini.
            Allah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan, demikian terjemahan harfiah ayat diatas. Penggalan ayat menginformasikan bahwa populasi manusia pada mulanya bersumber dari satu pasangan, kemudian satu pasangan itu berkembang biak sehingga menjadi sekian banyak pasangan yang terus berkembang biak, demikian seterusnya hingga setiap saat bertambah.
            Diatas, terbaca kata lelaki disusul dengan kata banyak sedang perempuan tidak disertai dengan kata banyak. Aneka ragam kesan yang diperoleh ulama dari redaksi itu. Al-Biqa’i, misalnya, menyatakan bahwa, walaupun sebenarnya perempuan lebih banyak daripada lelaki, kata banyak yang menyusul kata lelaki itu untuk mengisyaratkan bahwa lelaki memiliki derajat lebih tinggi, mereka lebih kuat, lebih jelas kehadirannya di tengah masyarakat dibanding perempuan. Fakhruddin Ar-Razi, sebelum Al-Biqa’i, juga berpendapat serupa. Kata “banyak” menyifati lelaki dan bukan pada kata wanita karena lelaki lebih populer sehingga jumlah banyak mereka lebih jelas. Ini juga memberi peringatan tentang apa yang wajar bagi lelaki yaitu keluar rumah menampakkan diri dan menjadi populer, sedang yang wajar buat wanita adalah ketersembunyiannya dan kelemahlembutan. Begitu tulis Ar-Razi dan dikutip juga oleh Muhammad Sayyid Thanthawi.
            Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi mempertegas pendapat di atas. Tulisnya: Penyebaran di bumi seharusnya hanya khusus buat lelaki karena Allah berfirman: “Apabaila telah ditunaikan sholat (Jum’at), maka bertebaranlah kamu di(muka) bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”(QS.Al-Jumuah[62]:10), dan berfirman juga, “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya(QS.Al-Mulk[67]:15). Sedang wanita-lanjut Asy-Sya’rawi-tinggal di rumah dan mengurusnya agar rumah menjadi tempat yang tenang, sedang lelaki yang giat bergerak di bumi ini dan, dengan demikian, wanita telah melaksanakan tugasnya.
            Memang, kata (بثّ) batstsa/memperkebangbiakkan telah mengandung makna banyak sehingga wajar dipertanyakan mengapa ada lagi kata banyak dan hanya dirangkaikan dengan laki-laki, tetapi kesan yang diperoleh oleh para ulama itu-sebagaimana halnya semua kesan-bersifat subjektif, kita dapat menerima atau menolaknya, apalagi pakar-pakar bahasa menetapkan bahwa Al-Qur’an cenderung kepada penyingkatan redaksi karena kata mereka, walau disini tidak disebut kata banyak setelah penyebutan wanita, sebenarnya mereka pun banyak. Bahwa lelaki di sifati demikian karena lelaki yang terlebih dahulu disebut penyebutannya lebih dulu adalah wajar karena dia yang tercipta lebih dahulu dan jenis kelamin anak cucunya, akibat pengembangbiakkan itu, ditentukan oleh gen lelaki (baca tafsir QS.AL-Baqarah[2]:223).
            Dalam firman-Nya: Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta. Objek takwa adalah Allah, bukan seperti yang lalu Tuhanmu, karena perintah ini adalah dalam konteks syariat-sebagaimana akan terlihat dalam sekian banyak ayat berikut-bukan lagi konteks anjuran dan penekanan pada perlunya rasa aman, persatuan, dan kesatuan masyarakat. Dengan kata Allah, diharapkan akan lahir rasa takut, apalagi dalam masyarakat jahiliyah ketika itu hak-hak orang lemah sering kali terabaikan. Ayat ini memerintahkan manusia untuk meengindahkan perintah Alllah dan menjauhi larangan-Nya karena Allah swt. adalah satu-satunya dambaan dalam memenuhi kebutuhan mereka.
            Kata (الأرحام) al-arham dalam bentuk jamak dari (رحيم) rahim, yaitu tempat peranakan. Di sanalah benih anak tinggal, tumbuh, dan lahir, selanjutnya berkembang biak. Rahim adalah menghubungkan seseorang dengan lainnya. Bahkan, melalui rahim, persamaan sifat, fisik, dan psikis tidak dapat dingkari. Kalaupun persamaan itu tidak banyak, ia pasti ada. Rahim ibu, yang mengandung pertemuan sperma bapak dan indung telur ibu, dapat membawa gen dari nenek dan kakeknya yang dekat atau yang jauh. Betapa pun, dengan rahim telah terjalin hubungan yang erat atau tepatnya Allah menjalin hubungan yang erat antar-manusia. Karena itu Allah, mengancam siapa yang memutuskan dan menjanjikan keberkahan dan usia yang panjang bagi siapa yang memeliharanya. “Rahim tergantung di singgasana Illahi(Arsy), di sana ia berkata: “Siapa yang menyambungku akan disambung Allah(dengan rahmat-Nya) dan siapa yang memutuskanku akan diputuskan Allah (rahmat-Nya)”(HR. Muslim melalui ‘Aisyah ra.). Di kali lain, Rosul saw bersabda: “Siapa yang senang diperluas rezekinya dan diperpanjang usianya, hendaklah ia menyambung hubungan rahim/kekeluargaannya”.(HR.Bukhari melalui Abu Hurairah).
            Di sisi lain, dengan jalinan rahim, seseorang akan merasa sangat dekat sehingga atas nama-Nya seorang saling membantu dan tolong-menolong.
            Bacaan populer dari kata(الأرحم) al-arham adalah “fathah” al-arhama sehingga ia dipahami sebagai bagian yang mengikuti (ma’thuf) dari objek takwa. Yakni, bertakwalah kepada Allah dan al-arham. Sebagaimana diketahui, kata takwa dari segi bahasa berarti memelihara. Bertakwa kepada Allah berarti memelihara diri dari siksa-Nya akibat pelanggaran atas perintah-Nya, dan bertakwa dalam kaitannya dengan al-arham adalah memeliharanya agar tidak putus akibat perlakuan yang tidak wajar.
            Allah diseru manusia jika mereka meminta sesuatu, baik meminta secara langsung kepada-Nya maupun meminta melalui orang lain. Itulah yang dimaksud dengan (تساءلونبه) tasa’aluna bihi. Selanjutnya, jika anda mengikuti imam yang membaca kata al-arham dengan kasroh(al-arhami), kata ini berkaitan atau mengikuti (ma’thuf) dengan kata ganti Allah pada kata bihi, yakni Allah yang disebut-sebut nama-Nya itu, sehingga penggalan ayat ini berpesan agar bertakwa kepada Allah yang atas nama-Nya manusia bermohon sebagaimana atas nama keluarga pun mereka bermohon. Biasanya, permohonan diajukan dengan berkata: Demi Allah dan demi hubungan kekeluargaan kita.
            Pendapat kedua ini, di samping bukan padangan mayoritas dan ada kejanggalannya dari segi kaidah kebahasaan, juga-dan ini lebih penting- karena maknanya tidak menekankan perlunya pemeliharaan silahturahim. Ia hanya menginformasikan bahwa dengan menyebut nama Allah dan karena adanya hubungan kekeluargaan, kamu saling meminta. Adapun pendapat pertama, seperti terbaca di atas, ia secara langsung dan tegas memerintahkan untuk memelihara hubungan silaturahim yang berkaitan langsung dengan perintah bertakwa kepada Allah swt. Makna ini sejalan dengan tujuan surah, sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini.
            Kata (رقيبا) raqiban, yang diterjemahkan dengan Maha Mengawasi merupakan salah satu nama Allah yang indah. Akar katanya terdiri dari huruf-hurf ra’, qaf, dan ba’ yang makna dasarnya adalah tampil tegak lurus untuk memelihara sesuatu. Pengawas adalah Raqib karena dia tampil memerhatikan dan mengawasi untuk memelihara yang diawasi.
Allah yang bersifat Raqib adalah Dia yang mengawasi atau yang menyaksikan, atau mengamati dari saat ke saat, makhluk-Nya. Demikian tiga makna dikemukakan al-Qurthubi. Allah Raqib terhadap segala sesuatu. Mengawasi, menyaksikan, dan mengamati segala yang dilihat dengan pandangan-Nya, segala yang didengar dengan pendengaran-Nya, serta segala yang wujud dengan ilmu-Nya. Imam Ghazali mengartikan Raqib sebagai Yang Maha Mengetahui lagi Maha Memelihara. Tulisnya: “Siapa yang memelihara sesuatu dan tidak lengah terhadapnya, memerhatikannya dengan perhatian yang bersinambungan, yang menjadikan yang disaksikan bila dilarang melakukan sesuatu tidak melakukannya, siapa yang demikian itu halnya dinamai Raqib. Karena itu, sifat ini berkaitan erat dengan ilmu serta pemeliharaan, tetapi dari sisi bahwa hal tersebut terlaksana serta bersinambung”.
Perlu pula ditambahkan bahwa pengawasan ini bukan bertujuan mencari kesalahan atau menjerumuskan yang diawasi, tetapi justru sebaliknya. Perhatikan kembali makna Raqib dari segi bahasa.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menampilkan sifat Allah ini memberi kesan bahwa pengawasan yang mengandung makna pemeliharaan, demi kebaikan yang diawasi, sejalan dengan makna kebahasaan yang dikemukakan di atas.
Dua di antara tiga ayat yang menyebut sifat Allah itu dikemukakan dalam konteks tuntunan menyangkut kehidupan rumah tangga serta perlunya hubungan silahturahim, yaitu ayat ini dan (QS.Al-Ahzab [33]:52). “Tidak halal bagimu menikahi perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri(yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah (Raqib) Maha Mengawasi segala sesuatu.
Ayat ketiga yang menggunakan kata raqiban sebagai sifat Allah juga memberi kesan pemeliharaan dan pengampunan. Baca dan camkanlah jawaban Nabi ‘Isa as. yang diabadikan Al-Qur’an dalam QS.Al-Ma’idah [5]:117-118.

B.     Ayat yang mirip dengan QS. An-Nisa ayat 1

1.      QS. Adz-Zariyat(51):49
وَمِن كُلِّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَا زَوۡجَيۡنِ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ ٤٩
Artinya:
49. Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.

2.      QS. An-Nahl(16):72
وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ ٧٢
Artinya:
72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?

3.      QS. Ar-Rum(30):21
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١
Artinya:
21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

4.      QS. Al-Ahzab(33):36
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا ٣٦
Artinya:
36. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.

5.      QS. An-Nur(24):26
ٱلۡخَبِيثَٰتُ لِلۡخَبِيثِينَ وَٱلۡخَبِيثُونَ لِلۡخَبِيثَٰتِۖ وَٱلطَّيِّبَٰتُ لِلطَّيِّبِينَ وَٱلطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَٰتِۚ أُوْلَٰٓئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَۖ لَهُم مَّغۡفِرَةٞ وَرِزۡقٞ كَرِيمٞ ٢٦
Artinya:
26. Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).

C.    Hadits-hadits yang sesuai dengan ayat diatas(anjuran untuk menikah)

1)      عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه
artinya: Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” Muttafaq Alaihi.
2)   وَعَنْهُ قَالَ : ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ , وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا , وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
Artinya: Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: “Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat.” Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

3)  وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( تُنْكَحُ اَلْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا , وَلِحَسَبِهَا , وَلِجَمَالِهَا , وَلِدِينِهَا , فَاظْفَرْ بِذَاتِ اَلدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مَعَ بَقِيَّةِ اَلسَّبْعَةِ
Artinya: Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia.” Muttafaq Alaihi dan Imam Lima.

4)  عَنْ اَنَسٍ  اَنَّ نَفَرًا مِنْ اَصْحَابِ النَّبِيِّ ص قَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ اَتَزَوَّجُ. وَ قَالَ بَعْضُهُمْ: اُصَلِّى وَ لاَ اَنَامُ. وَ قَالَ بَعْضُهُمْ: اَصُوْمُ وَ لاَ اُفْطِرُ، فَبَلَغَ ذلِكَ النَّبِيَّ ص فَقَالَ: مَا بَالُ اَقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا وَ كَذَا. لكِنّى اَصُوْمُ وَ اُفْطِرُ وَ اُصَلِّى وَ اَنَامُ وَ اَتَزَوَّجُ النّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنّى. احمد و البخارى و مسلم
Artinya: Dan dari Anas, bahwasannya ada sebagian shahabat Nabi SAW yang berkata, “Aku tidak akan kawin.” Sebagian lagi berkata, “Aku akan shalat terus-menerus dan tidak akan tidur.” Dan sebagian lagi berkata, “Aku akan berpuasa terus-menerus”. Kemudian hal itu sampai kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda, “Bagaimanakah keadaan kaum itu, mereka mengatakan demikian dan demikian ?. Padahal aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, dan aku pun mengawini wanita. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, bukanlah dari golonganku”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
5)   وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَمِدَ اَللَّهَ , وَأَثْنَى عَلَيْهِ , وَقَالَ : لَكِنِّي أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ , وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ , وَأَتَزَوَّجُ اَلنِّسَاءَ , فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Sha            llallaahu ‘alaihi wa Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: “Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku.” Muttafaq Alaihi.

D.    Pendapat Penulis
Menurut penulis, sangat penting bagi pemuda-pemudi muslim untuk mempelajari serta memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang pernikahan sejak dini. Karena tanpa disadari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang mengajurkan untuk menikah merupakan sumber atau petunjuk pasti umat muslim dalam membentuk sebuah keluarga sesuai syariat Allah swt. Agar umat muslim dalam membentuk atau membangun rumahtangga tidak semena-mena hanya karena kepentingan nafsu semata saja, melainkan niat beribadah kepada Allah swt untuk mencapai surga-Nya. Sehingga umat muslim dalam berumahtangga selalu memperansertakan Allah dalam kehidupan sehari-harinya.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, 2006, Ringkasan Shahih Muslim, cet,ke-2, Jakarta: Pustaka Azzam.
Shihab, M.Quraish, 2002, Tafsir Al-Mishbah, cet,ke-5, Jakarta: Lentera Hati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar