TAFSIR TARBAWI
(PERNIKAHAN TAFSIR
QS.AN-NISA AYAT 1)
Dosen pengampu: Abdulloh Maksum, Alh., S.Pd.I
Disusun oleh :
Mazaya Linda
Shilmina (2015010002)
PAI 4C
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS SAINS
AL-QUR’AN JAWA TENGAH
DI WONOSOBO
2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa karena nikmat dan ridhoNya saya dapat menyelesaikan tulisan ini.
Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Agung Muhammad
SAW.
Ucapan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu saya menyusun tulisan ini, baik teman
maupun dosen.
Tulisan ini
disusun agar pembaca dapat mengetahui tentang Tafsir QS.An-Nisa ayat 1 yang
membahas tentang perintah untuk menikah. Semoga tulisan ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun tulisan ini masih banyak
kekurangan. Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Terima
kasih.
Wonosobo, 16 Mei 2017
Penulis
A.
Tafsir Qur’an Surat An-Nisa ayat 1
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ
مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ
ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا
١
Artinya:
“Wahai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu, dan menciptakan darinya pasangannya; Allah memperkembangbiakkan dari
keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan. Dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (pelihara pula) hubungan silaturahim.
Sesunggungnya Allah Maha Mengawasi kamu.”
Setelah
jelas persoalan kitab suci yang merupakan jalan menuju kebahagiaan dan jelas
pula asas dari segala kegiatan, yaitu tauhid, tentu saja diperlukan persatuan
dan kesatuan dalam asas itu. Surah An-Nisa mengajak agar senantiasa menjalin
hubungan kasih sayang antar seluruh manusia. Karena itu, ayat ini, walau turun
di Madinah yang biasanya panggilan ditujukan kepada orang yang beriman
(ياأيّها الّذين امنؤا) ya ayyuha alladzina amanu, demi
persatuan dan kesatuan, ayat ini mengajak seluruh manusia yang beriman dan
tidak beriman, Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, yakni Adam atau jenis yang sama,
tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara seorang manusia dan yang lain,
dan Allah menciptakan darinya, yakni dari diri yang satu itu pasangannya,
dan dari keduanya, yakni dari Adam dan istrinya atau dari lelaki dan
perempuan yang berpasangan itu Allah memperkembangbiakkan laki-laki yang
banyak dan perempuan pun demikian. Dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan nama-Nya kamu saling meminta dan pelihara pula hubungan
silahturahim. Jangan putuskan hubungan tersebut karena apa pun yang terjadi
sesungguhnya Allah terus-menerus-sebagaimana dipahami dari kata (كان) kana-Maha Mengawasi kamu.
Seperti dikemukakan di atas, ayat
ini sebagai pendahuluan untuk mengantar lahirnya persatuan dan kesatuan dalam masyarakat,
serta bantu membantu dan saling menyayangi karena semua manusia berasal dari
satu keturunan, tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan, kecil dan
besar, beragama atau tidak beragama. Semua dituntut untuk menciptakan kedamaian
dan rasa aman dalam masyarakat serta saling menghormati hak-hak asasi manusia.
Perintah-Nya untuk bertakwa kepada Tuhanmu
(ربّكم) rabbakum, tidak menggunakan “Allah”, untuk lebih
mendorong semua manusia berbuat baik karena Tuhan yang memerintahkan ini adalah
rabb, yakni yang memelihara dan membimbing, serta agar setiap manusia
menghindari sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Tuhan yang mereka percayai
sebagai Pemelihara dan yang selalu menginginkan kedamaian dan kesejahteraan
bagi semua makhluk. Di sisi lain, pemilihan kata itu membuktikan adanya
hubungan antara manusia dan Tuhan yang tidak boleh diputus. Hubungan manusia
dengan-Nya itu sekaligus menuntut agar setiap orang senantiasa memelihara
hubungan antara manusia dan sesamanya.
Firman-Nya: (من نفس واحدة) min nafsin wahidah mayoritas ulama memahaminya dalam
arti Adam as., dan ada juga yang memahaminya dalam arti jenis manusia lelaki
dan wanita. Syaikh Muhammad ‘Abduh, al-Qasimi, dan beberapa ulama kontemporer
lainnya memahami demikian sehingga ayat ini sama dengan firman-Nya dalam (QS.
Al-Hujurat [49]:13: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di Antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa
di Antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal.”
Surah Al-Hujurat memang berbicara
tentang asal kejadian manusia yang sama dari seorang ayah dan ibu, yakni sperma
ayah dan ovum/indung telur ibu, tetapi tekanannya pada persamaan hakikat
kemanusiaan orang per-orang karena setiap orang, walau berbeda-beda ayah dan
ibunya, unsur dan proses kejadian mereka sama. Ada pun ayat An-Nisa ini,
walaupun menjelaskan kesatuan dan kesamaan orang per-orang dari segi hakikat
kemanusiaan, konteksnya untuk menjelaskan banyak dan berkembang biaknya mereka
dari seorang ayah, yakni Adam dan seorang ibu, yakni Hawa. Ini dipahami dari
pernyataan Allah memperkembangbiakkan laki-laki banyak dan perempuan dan
ini tentunya baru sesuai jika kata (نفس واحدة) nafsin wahidah dipahami dalam arti ayah manusia
seluruhnya (Adam as.) dan pasangannya (Hawa) lahir laki-laki dan perempuan yang
banyak.
Memahami nafsin wahidah sebagai Adam
as. menjadikan kata (زوجها) zujaha, yang secara harfiah bermakna pasangannya, adalah istri
Adam as. yang popular bernama Hawa. Karena ayat ini menyatakan bahwa pasangan
itu diciptakan dari nafsin wahidah yang berarti Adam, para mufasir terdahulu
memahami bahwa istri Adam diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini kemudian
melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan dengan menyatakan bahwa
perempuan adalah bagian dari laki-laki. Banyak penafsir menyatakan bahwa
pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok
dan karena itu-tulis al-Qurthubi dalam tafsirnya-perempuan bersifat غوجاء)) ‘auwja’l bengkok. Pandangan ini mereka perkuat dengan
hadits Rasul Saw. yang menyatakan: “Saling berwasiatlah untuk berbuat baik
kepada wanita karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok kalau
engkau membiarkannya, ia tetap bengkok. Dan bila engkau meluruskannya, ia akan
patah.” (HR. at-Tirmidzi melalui Abu Hurairoh).
Hadits ini dipahami oleh ulama-ulama
terdahulu dalam arti harfiah. Namun, tidak sedikit ulama kontemporer
memahaminya dalam arti metafora, bahkan ada yang menolak keshahihannya. Yang
memahami secara metafora menyatakan bahwa hadits itu mengingatkan para pria
agar menghadapi perempuan dengan bijaksana karena ada sifat dan kodrat bawaan
mereka yang berbeda dengan pria sehingga, bila tidak disadari, akan mengantar
pria bersikap tidak wajar. Tidak ada yang mampu mengubah kodrat bawaan itu.
Kalaupun ada yang berusaha, akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan
tulang rusuk yang bengkok.
Thabathaba’i dalam tafsirnya menulis
bahwa ayat diatas menegaskan bahwa perempuan (istri Adam as.) diciptakan dari
jenis yang sama dengan Adam dan ayat tersebut sedikitpun tidak mendukung paham
yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Memang
tidak ada petunjuk dari Al-Qur’an yang mengarah kesana atau bahkan mengarah
kepada penciptaan pasangan Adam dari
unsur yang lain.
Ide kelahiran Hawa dari tulang rusuk
Adam, menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, timbul dari apa yang termaktub
dalam perjanjian lama (kejadian II:21-22) yang menyatakan bahwa ketika Adam tidur
lelap, diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula
tempat itu dengan daging. Maka, dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam
itu dibuat Tuhan seorang perempuan.
Tulis Rasyid Ridha: “Seandainya
tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam perjanjian lama, seperti
redaksi diatas, niscaya pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan
dari tulang rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim.”
Perlu dicatat sekali lagi bahwa
pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam, maka itu bukan berarti
bahwa kedudukan wanita-wanita selain Hawa demikian juga atau lebih rendah
dibanding laki-laki. Ini karena semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir dari
gabungan antara pria dan wanita sebagaimana bunya surat Al-Hujurat diatas, dan
sebagaimana penegasannya, “Sebagian kamu dari sebagian yang lain”(QS.Al-Imran[3]:195).
Lelaki lahir dari pasangan pria dan wanita, begitu juga wanita. Karena itu,
tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya. Kekuatan lelaki
dibutuhkan oleh wanita dan kelemahlembutan didambakan oleh pria. Jarum harus
lebih kuat daripada kain, dan kain harus lebih lembut daripada jarum. Kalau
tidak, jarum tidak akan berfungsi dan kain pun tidak akan terjahit. Dengan
berpasangan, akan tercipta pakaian yang indah, serasi dan nyaman.
Penegasannya bahwa (خلق منها زوجها) khalaqa minha zaujaha/Allah menciptakan darinya, yakni
dari nafsin wahidah itu pasangannya; mengandung makna bahwa
pasangan suami istri hendaknya menyatu sehingga menjadi diri yang satu, yakni
menyatu dalam perasaan dan fikirannya, dalam cita dan harapannya, dalam gerak
dan langkahnya, bahkan dalam menarik dan menghembuskan nafasnya. Itu sebabnya
pernikahan dinamai (زواج) zawaj yang berarti keberpasangan disamping
dinamain (نكاح) nikah yang berarti penyatuan rohani dan jasmani. Suami
dinamai (زوج) zauj dan istri pun demikian.
Kata (بثّ) batstsa mengandung makna menyebarluaskan dan membagi-bagi
sesuatu yang banyak, yakni mengembang-biakkan dengan banyak. Jika anda berkata menyebarluaskan,
maka itu mengandung makna keluasan tempat, berbeda jika anda berkata
menghimpun, tempat yang anda butuhkan untuk himpunan itu lebih kecil dibanding
jika anda menyebarnya. Ini berarti bahwa anak-anak cucu yang lahir dan
pengembangbiakannya itu menempati banyak tempat di permukaan bumi ini.
Allah memperkembangbiakkan dari
keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan, demikian terjemahan harfiah
ayat diatas. Penggalan ayat menginformasikan bahwa populasi manusia pada
mulanya bersumber dari satu pasangan, kemudian satu pasangan itu berkembang
biak sehingga menjadi sekian banyak pasangan yang terus berkembang biak,
demikian seterusnya hingga setiap saat bertambah.
Diatas, terbaca kata lelaki
disusul dengan kata banyak sedang perempuan tidak disertai dengan kata banyak.
Aneka ragam kesan yang diperoleh ulama dari redaksi itu. Al-Biqa’i, misalnya,
menyatakan bahwa, walaupun sebenarnya perempuan lebih banyak daripada lelaki,
kata banyak yang menyusul kata lelaki itu untuk mengisyaratkan bahwa
lelaki memiliki derajat lebih tinggi, mereka lebih kuat, lebih jelas
kehadirannya di tengah masyarakat dibanding perempuan. Fakhruddin Ar-Razi,
sebelum Al-Biqa’i, juga berpendapat serupa. Kata “banyak” menyifati lelaki dan
bukan pada kata wanita karena lelaki lebih populer sehingga jumlah banyak
mereka lebih jelas. Ini juga memberi peringatan tentang apa yang wajar bagi
lelaki yaitu keluar rumah menampakkan diri dan menjadi populer, sedang yang
wajar buat wanita adalah ketersembunyiannya dan kelemahlembutan. Begitu tulis
Ar-Razi dan dikutip juga oleh Muhammad Sayyid Thanthawi.
Syaikh Muhammad Mutawalli
Asy-Sya’rawi mempertegas pendapat di atas. Tulisnya: Penyebaran di bumi
seharusnya hanya khusus buat lelaki karena Allah berfirman: “Apabaila telah
ditunaikan sholat (Jum’at), maka bertebaranlah kamu di(muka) bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”(QS.Al-Jumuah[62]:10),
dan berfirman juga, “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya(QS.Al-Mulk[67]:15).
Sedang wanita-lanjut Asy-Sya’rawi-tinggal di rumah dan mengurusnya agar rumah
menjadi tempat yang tenang, sedang lelaki yang giat bergerak di bumi ini dan,
dengan demikian, wanita telah melaksanakan tugasnya.
Memang, kata (بثّ) batstsa/memperkebangbiakkan telah mengandung makna
banyak sehingga wajar dipertanyakan mengapa ada lagi kata banyak dan
hanya dirangkaikan dengan laki-laki, tetapi kesan yang diperoleh oleh para
ulama itu-sebagaimana halnya semua kesan-bersifat subjektif, kita dapat
menerima atau menolaknya, apalagi pakar-pakar bahasa menetapkan bahwa Al-Qur’an
cenderung kepada penyingkatan redaksi karena kata mereka, walau disini tidak
disebut kata banyak setelah penyebutan wanita, sebenarnya mereka
pun banyak. Bahwa lelaki di sifati demikian karena lelaki yang terlebih
dahulu disebut penyebutannya lebih dulu adalah wajar karena dia yang tercipta
lebih dahulu dan jenis kelamin anak cucunya, akibat pengembangbiakkan itu,
ditentukan oleh gen lelaki (baca tafsir QS.AL-Baqarah[2]:223).
Dalam firman-Nya: Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta. Objek takwa adalah Allah,
bukan seperti yang lalu Tuhanmu, karena perintah ini adalah dalam
konteks syariat-sebagaimana akan terlihat dalam sekian banyak ayat
berikut-bukan lagi konteks anjuran dan penekanan pada perlunya rasa aman,
persatuan, dan kesatuan masyarakat. Dengan kata Allah, diharapkan akan
lahir rasa takut, apalagi dalam masyarakat jahiliyah ketika itu hak-hak orang
lemah sering kali terabaikan. Ayat ini memerintahkan manusia untuk
meengindahkan perintah Alllah dan menjauhi larangan-Nya karena Allah swt.
adalah satu-satunya dambaan dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Kata (الأرحام) al-arham dalam bentuk jamak dari (رحيم) rahim, yaitu tempat peranakan. Di sanalah benih anak
tinggal, tumbuh, dan lahir, selanjutnya berkembang biak. Rahim adalah
menghubungkan seseorang dengan lainnya. Bahkan, melalui rahim, persamaan sifat,
fisik, dan psikis tidak dapat dingkari. Kalaupun persamaan itu tidak banyak, ia
pasti ada. Rahim ibu, yang mengandung pertemuan sperma bapak dan indung telur
ibu, dapat membawa gen dari nenek dan kakeknya yang dekat atau yang jauh.
Betapa pun, dengan rahim telah terjalin hubungan yang erat atau tepatnya Allah
menjalin hubungan yang erat antar-manusia. Karena itu Allah, mengancam siapa
yang memutuskan dan menjanjikan keberkahan dan usia yang panjang bagi siapa
yang memeliharanya. “Rahim tergantung di singgasana Illahi(Arsy), di sana ia
berkata: “Siapa yang menyambungku akan disambung Allah(dengan rahmat-Nya) dan
siapa yang memutuskanku akan diputuskan Allah (rahmat-Nya)”(HR. Muslim melalui
‘Aisyah ra.). Di kali lain, Rosul saw bersabda: “Siapa yang senang diperluas
rezekinya dan diperpanjang usianya, hendaklah ia menyambung hubungan
rahim/kekeluargaannya”.(HR.Bukhari melalui Abu Hurairah).
Di sisi lain, dengan jalinan rahim,
seseorang akan merasa sangat dekat sehingga atas nama-Nya seorang saling
membantu dan tolong-menolong.
Bacaan populer dari kata(الأرحم) al-arham adalah “fathah” al-arhama sehingga ia
dipahami sebagai bagian yang mengikuti (ma’thuf) dari objek takwa.
Yakni, bertakwalah kepada Allah dan al-arham. Sebagaimana diketahui,
kata takwa dari segi bahasa berarti memelihara. Bertakwa kepada Allah
berarti memelihara diri dari siksa-Nya akibat pelanggaran atas perintah-Nya,
dan bertakwa dalam kaitannya dengan al-arham adalah memeliharanya agar
tidak putus akibat perlakuan yang tidak wajar.
Allah diseru manusia jika mereka
meminta sesuatu, baik meminta secara langsung kepada-Nya maupun meminta melalui
orang lain. Itulah yang dimaksud dengan (تساءلونبه) tasa’aluna bihi. Selanjutnya, jika anda mengikuti imam yang
membaca kata al-arham dengan kasroh(al-arhami), kata ini berkaitan atau
mengikuti (ma’thuf) dengan kata ganti Allah pada kata bihi, yakni Allah yang
disebut-sebut nama-Nya itu, sehingga penggalan ayat ini berpesan agar bertakwa
kepada Allah yang atas nama-Nya manusia bermohon sebagaimana atas nama keluarga
pun mereka bermohon. Biasanya, permohonan diajukan dengan berkata: Demi Allah
dan demi hubungan kekeluargaan kita.
Pendapat kedua ini, di samping bukan
padangan mayoritas dan ada kejanggalannya dari segi kaidah kebahasaan, juga-dan
ini lebih penting- karena maknanya tidak menekankan perlunya pemeliharaan
silahturahim. Ia hanya menginformasikan bahwa dengan menyebut nama Allah dan
karena adanya hubungan kekeluargaan, kamu saling meminta. Adapun pendapat
pertama, seperti terbaca di atas, ia secara langsung dan tegas memerintahkan
untuk memelihara hubungan silaturahim yang berkaitan langsung dengan perintah
bertakwa kepada Allah swt. Makna ini sejalan dengan tujuan surah, sebagaimana
telah dikemukakan sebelum ini.
Kata (رقيبا) raqiban, yang diterjemahkan dengan Maha Mengawasi
merupakan salah satu nama Allah yang indah. Akar katanya terdiri dari
huruf-hurf ra’, qaf, dan ba’ yang makna dasarnya adalah tampil tegak
lurus untuk memelihara sesuatu. Pengawas adalah Raqib karena dia
tampil memerhatikan dan mengawasi untuk memelihara yang diawasi.
Allah yang bersifat Raqib
adalah Dia yang mengawasi atau yang menyaksikan, atau mengamati dari saat ke
saat, makhluk-Nya. Demikian tiga makna dikemukakan al-Qurthubi. Allah Raqib
terhadap segala sesuatu. Mengawasi, menyaksikan, dan mengamati segala yang
dilihat dengan pandangan-Nya, segala yang didengar dengan pendengaran-Nya,
serta segala yang wujud dengan ilmu-Nya. Imam Ghazali mengartikan Raqib
sebagai Yang Maha Mengetahui lagi Maha Memelihara. Tulisnya: “Siapa yang
memelihara sesuatu dan tidak lengah terhadapnya, memerhatikannya dengan
perhatian yang bersinambungan, yang menjadikan yang disaksikan bila dilarang
melakukan sesuatu tidak melakukannya, siapa yang demikian itu halnya dinamai
Raqib. Karena itu, sifat ini berkaitan erat dengan ilmu serta pemeliharaan,
tetapi dari sisi bahwa hal tersebut terlaksana serta bersinambung”.
Perlu pula ditambahkan
bahwa pengawasan ini bukan bertujuan mencari kesalahan atau menjerumuskan yang
diawasi, tetapi justru sebaliknya. Perhatikan kembali makna Raqib dari
segi bahasa.
Ayat-ayat Al-Qur’an
yang menampilkan sifat Allah ini memberi kesan bahwa pengawasan yang mengandung
makna pemeliharaan, demi kebaikan yang diawasi, sejalan dengan makna kebahasaan
yang dikemukakan di atas.
Dua di antara tiga
ayat yang menyebut sifat Allah itu dikemukakan dalam konteks tuntunan
menyangkut kehidupan rumah tangga serta perlunya hubungan silahturahim, yaitu
ayat ini dan (QS.Al-Ahzab [33]:52). “Tidak halal bagimu menikahi
perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan
istri-istri(yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali
perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah (Raqib)
Maha Mengawasi segala sesuatu.
Ayat ketiga yang
menggunakan kata raqiban sebagai sifat Allah juga memberi kesan pemeliharaan
dan pengampunan. Baca dan camkanlah jawaban Nabi ‘Isa as. yang diabadikan
Al-Qur’an dalam QS.Al-Ma’idah [5]:117-118.
B.
Ayat yang mirip dengan QS.
An-Nisa ayat 1
1.
QS. Adz-Zariyat(51):49
وَمِن كُلِّ شَيۡءٍ
خَلَقۡنَا زَوۡجَيۡنِ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ ٤٩
Artinya:
49. Dan
segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran
Allah.
2. QS. An-Nahl(16):72
وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم
مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم بَنِينَ
وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ
وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ ٧٢
Artinya:
72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan
cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?
3. QS.
Ar-Rum(30):21
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ
خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ
بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ
يَتَفَكَّرُونَ ٢١
Artinya:
21.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
4. QS.
Al-Ahzab(33):36
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ
وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ
مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا
مُّبِينٗا ٣٦
Artinya:
36. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin
dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata.
5.
QS.
An-Nur(24):26
ٱلۡخَبِيثَٰتُ
لِلۡخَبِيثِينَ وَٱلۡخَبِيثُونَ لِلۡخَبِيثَٰتِۖ وَٱلطَّيِّبَٰتُ لِلطَّيِّبِينَ
وَٱلطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَٰتِۚ أُوْلَٰٓئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَۖ
لَهُم مَّغۡفِرَةٞ وَرِزۡقٞ كَرِيمٞ ٢٦
Artinya:
26. Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki
yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula),
dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu
bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka
ampunan dan rezeki yang mulia (surga).
C.
Hadits-hadits
yang sesuai dengan ayat diatas(anjuran untuk menikah)
1)
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
اَلْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ) مُتَّفَقٌ
عَلَيْه
artinya: Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” Muttafaq Alaihi.
artinya: Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” Muttafaq Alaihi.
2)
وَعَنْهُ قَالَ : ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ , وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا ,
وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ
اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ
حِبَّانَ
Artinya: Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat
melarang kami membujang. Beliau bersabda: “Nikahilah perempuan yang subur dan
penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para
Nabi pada hari kiamat.” Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
3) وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم قَالَ : ( تُنْكَحُ اَلْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا , وَلِحَسَبِهَا ,
وَلِجَمَالِهَا , وَلِدِينِهَا , فَاظْفَرْ بِذَاتِ اَلدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ )
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مَعَ بَقِيَّةِ اَلسَّبْعَةِ
Artinya: Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat
hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang
taat beragama, engkau akan berbahagia.” Muttafaq Alaihi dan Imam Lima.
4) عَنْ اَنَسٍ اَنَّ نَفَرًا مِنْ
اَصْحَابِ النَّبِيِّ ص قَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ اَتَزَوَّجُ. وَ قَالَ بَعْضُهُمْ:
اُصَلِّى وَ لاَ اَنَامُ. وَ قَالَ بَعْضُهُمْ: اَصُوْمُ وَ لاَ اُفْطِرُ،
فَبَلَغَ ذلِكَ النَّبِيَّ ص فَقَالَ: مَا بَالُ اَقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا وَ
كَذَا. لكِنّى اَصُوْمُ وَ اُفْطِرُ وَ اُصَلِّى وَ اَنَامُ وَ اَتَزَوَّجُ
النّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنّى. احمد و البخارى و مسلم
Artinya: Dan dari Anas, bahwasannya ada sebagian shahabat Nabi SAW
yang berkata,
“Aku tidak akan kawin.” Sebagian lagi berkata,
“Aku akan shalat terus-menerus dan tidak akan tidur.”
Dan sebagian lagi berkata, “Aku akan berpuasa terus-menerus”. Kemudian hal itu
sampai kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda,
“Bagaimanakah
keadaan kaum itu, mereka mengatakan demikian dan demikian ?.
Padahal aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, dan aku
pun mengawini wanita. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku,
bukanlah dari golonganku”. [HR.
Ahmad, Bukhari dan Muslim]
5)
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى
الله عليه وسلم حَمِدَ اَللَّهَ , وَأَثْنَى عَلَيْهِ , وَقَالَ : لَكِنِّي أَنَا
أُصَلِّي وَأَنَامُ , وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ , وَأَتَزَوَّجُ اَلنِّسَاءَ , فَمَنْ
رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Dari
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Sha llallaahu ‘alaihi wa
Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: “Tetapi aku sholat,
tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci
sunnahku, ia tidak termasuk ummatku.” Muttafaq Alaihi.
D. Pendapat
Penulis
Menurut
penulis, sangat penting bagi pemuda-pemudi muslim untuk mempelajari serta
memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang pernikahan sejak dini. Karena
tanpa disadari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang mengajurkan untuk menikah
merupakan sumber atau petunjuk pasti umat muslim dalam membentuk sebuah
keluarga sesuai syariat Allah swt. Agar umat muslim dalam membentuk atau
membangun rumahtangga tidak semena-mena hanya karena kepentingan nafsu semata
saja, melainkan niat beribadah kepada Allah swt untuk mencapai surga-Nya.
Sehingga umat muslim dalam berumahtangga selalu memperansertakan Allah dalam
kehidupan sehari-harinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Albani,
Muhammad Nashiruddin, 2006, Ringkasan Shahih Muslim, cet,ke-2, Jakarta:
Pustaka Azzam.
Shihab,
M.Quraish, 2002, Tafsir Al-Mishbah, cet,ke-5, Jakarta: Lentera Hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar