Rabu, 07 Juni 2017

Menggapai IKHLAS dalam BERIBADAH dengan memperbaiki NIAT By Ira Mutmainah

MENGGAPAI  IKHLAS  DALAM  BERIBADAH DENGAN  MEMPERBAIKI  NIAT
Tugas ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Tafsir Tarbawi
Dosen Pengampu : Abdulloh Ma’sum, Alh., S. Pdi.



Disusun Oleh :
Ira Mutmainah
2015010193
PAI-4C


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2016/2017



A.    Ayat tentang ikhlas dalam beribadah








162. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
163. tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".

Penjelasan Ayat :
Surah Al-An’am ayat 162-163 merupakan surah ke-6, yang terdiri dari 165 ayat. Akan tetapi dalam urutan turunnya surah Al-An’am merupakan surah yang ke-55, surah ini turun setelah surah Al-Hijr. Surah Al-An’am termasuk surah Makiyyah karena diturunkan sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah. Al-An’am artinya binatang ternak. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan orang yang menganggap bahwa binatang ternak dapat dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada tuhan. Selain itu, dalam surah ini disebutkan tentang hukum binatang ternak.
Isi pokok kandungan surah Al-An’am adalah tentang keimanan, hukum, kisah kisah. Adapun kandungan surah Al-An’am ayat 162-163 adalah kewajiban manusia untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala secara ikhlas.  Ikhlas berarti melaksanakan perbuatan semata-mata untuk mendapatkan ridlo Allah Subhanahu Wata’ala tida bercampur dengan yang lain. Dalam menjalankan ibadah, seseorang tidak memasukkan unsur-unsur yang dapat mengurangi nilai ibadah, misanya riya’, karena riya’ walaupun sedikit akan mengurangi nilai ibadah tersebut dan tidak dapat dikatakan ikhlas. Surah ini merupakan pernyataan komitmen manusia dengan Allah Subhanahu Wata’ala yang merupakan pernyataan sikap, baik hidup maupun mati semata-mata untuk mendapatkan ridlo dari-Nya. Orang ikhlas banyak memperoleh manfaat dalam kehidupannya, misalnya, kesulitan hidupnya dapat terbantu oleh ibadah yang diterima oleh Allah Subhanahu Wata’ala.


B.     Munasabah Ayat tentang Ikhlas
1)      QS. Al-Bayyinah ayat 5





5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
[1595] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.

Penjelasan ayat :
Surah Al-Bayyinah merupakan surah ke-98 yang terdiri atas 8 ayat. Akan tetapi dalam urutan turunnya surah Al-Bayyinah merupakan surah yang ke 100, surah ini turun setelah surah Ath-Thalaaq. Surah ini termasuk surah Madaniyyah karena diturunkan setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah. Al-Bayyinah berarti bukti yang nyata. Isi pokok surah ini tentang pernyataan ahli kitab dan orang musyrik bahwa mereka akan tetap seperti ini sampai datang Nabi yang dijanjikan Allah. Setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam datang membawa bukti nyata, mereka terbagi menjadi dua, ada yang beriman dan ada yang tetap pada kekufuran.
Kandungan pokok surah Al-Bayyinah ayat 5 yaitu :
  1. Perintah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan menaati ajaran Allah Subhanahu Wata’ala dengan lurus (tidak bercampur dengan riya’ dan syirik)
  2. Sebagai seorang muslim, wajib hukumnya untuk mendirikan sholat lima waktu dalam sehari semalam, sholat itu sangat besar artinya, karena merupakan tiang agama dan ibadah yang perama dihisab diakhirat.
  3. Perintah untuk menunaikan zakat. Oleh karena itu, dalam setiap harta ada hak Allah Subhanahu Wata’ala yang harus dikeluarkan untuk orang yang berhak menerimanya. Zakat berfungsi untuk menyucikan harta dan untuk menumbuh kembangkannya.

2)      QS. Az-zumar ayat 1-2






1. Kitab (Al Quran ini) diturunkan oleh Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
2. Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.
Penjelasan Ayat:
Surah Az-Zumar merupakan surah ke-39 yang terdiri atas 75 ayat. Akan tetapi dalam urutan turunnya surah Az-Zumar merupakan surah yang ke 59, surah ini turun setelah surah Saba’. Surah ini termasuk surah Makkiyyah karena diturunkan sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah. Az-Zumar berarti rombongan-rombongan. Isi pokok surah ini tentang keadaan manusia di hari kiamat setelah mereka dihisab, diwaktu itu mereka terbai atas dua rombongan, satu rombongan dibawa ke neraka dan satu rombongan lagi dibawa ke surga. Masing-masing rombongan memperoleh balasan dari apa yang mereka kerjakan di dunia dahulu.
Kandungan pokok surah Az-Zumar ayat 1 dan 2 yaitu tentang beribadah kepada Allah dengan hati yang penuh keikhlasan. Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wata’ala menyuruh Rasul-Nya supaya beribadah dengan ikhlas. Memurnikan ibadah semata-mata untuk-Nya, bersih dari unsur syirik dan riya’ sesuai dengan apa yang telah Dia turunkan dalam lembaran-lembaran kitab-kitab lewat lidah para Nabi-Nya, yakni dengan mengkhususkan peribadatan untuk-Nya semata-mata dan tiada sekutu bagi-Nya.[1]

3)      QS. Az-Zumar ayat 11




11. Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.”
Dalam surah Az-Zumar ayat 11 merupakan firman Allah tentang keutamaan ikhlas. Dimana kita diperintakan untuk menyembah Allah Subhanahu Wata’ala dengan ikhlas.

C.     Hadist-hadist pendukung tentang Niat dan Ikhlas dalam beribadah

a.       Hadist Riwayat Al-Bukhari (1, 54, 2529, 3839, 5070, 6689, dan 6953), Muslim (1907), Abu Daud (2201), At-Tirmidzi (1647) dan Ibnu Majah (4227).[2]

عَنْ اَمِرُالْمُؤْمِنِيْنَ اَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَـطَّابِ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَ سُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: << إِنَّمَاالْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّاامْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِـجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ. وَمَنْ كَانَتْ هِـجْرَتُهُ لِدُنْيَايُصِـيْبَـهَا اَوِمْرَاَةٍيَنْكِحُهَا، فَـهِـجْرَتُهُ إِلَى مَاهَاجَرَ اِلَيْهِ>>. 

Dari Amirul Mu’min, Abu Hafsh,’Umar Ibnu Al-Khattab Radhiyallahu’anhu, ia berkata, “ Saya mendengar Rasulullaah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,’Sesungguhnya semua amalan itu bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang hanya akan memperoleh (balasan pahala) sesuai dengan yang ia niatkan. Oleh karena itu, barangsiapa hijrahnya menuju kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti hijrahnya menuju kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijranya karena dunia yang akan diperolehnya atau perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu menuju kepada apa yang ia niatkan.”

b.      Hadist Riwayat Al-Bukhari(4838), Muslim (2820), dan Ahmad (VI/115)[3]

عَنْ عَا ئِشَةَ رضي الله عنها أَنَّ نَبِىَّ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَيَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَقَادَمَاهُ فَقَالَتْ عَا ئِشَةُ لِمَ تَصْنَعُ هٰذَا يَارَسُوْلُ اللهِ، أَتَتَكَلَّفُ هَذَ وَقَدْ غَفَرَاللهُ لَكَ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَ خَّرَ؟قَالَ: أَفَلَاأَ كُوْنُ عَبَّدًاشِكُوْرًا
Dari Aisyah Radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi melaksanakan sholat malam hingga kaki beliau bengkak-bengkak. Aisyah berkata “Wahai Rasulullaah, mengapa engkau memberatkan diri melakukan hal seperti ini, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab,”Bukankah aku harus bersyukur”

c.       Hadist Riwayat Muslim (2985), Ibnu Majah (4202), dan Ahmad (II/301)[4]

حَدَّثَنِي زُهَيْرَبْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ، أَخْبَرَنَا رَوْحُ بْنُ الْقَاسِمِ، عَسَنِ الْقَاسِمِ،
عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ابْنِ يَعْقُوْبَ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ أَبِي هُرِيْرَةَ رضي الله عنه
قَالَ رَ سُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:(قَـالَ اللهُ تَبَـارَكَ وَتَغَالَى:أَنَاأَغْنَى الشُّرَكَاءِعَنِ الشَّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ غَيْرِي،تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ).
Diceritakan oleh Zubair bin Harb, diceritakan oleh Ismail bin Ibrahim dikabakan oleh Ruh bin Al-Qasim, dari Al-‘Ala’ bin “Abdurrahman bin Ya’qub dari ayahnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullaah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Aku tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa mengerjakan amal perbuatan yang ia menyekutukan Aku di dalamnya dengan selain Aku, maka Aku akan tinggalkan dia beserta sekutunya itu.” {Hadist Qudsi}

d.      Hadist Riwayat Muslim[5]

عَنْ أَبِي هُرِيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ رَ سُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اِنَّ اللهَ يَنْظُرُ اِلَى صُوَرِكُـمْ وَاَمْوَالِكُـمْ، وَلٰـكِنْ يَنْظُرُ اِلَى قُلُوْكُـمْ وَاَعْمَالِـكُمْ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkara: Rasulullaah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah memandang hati dan amal kalian.”

e.       Hadist Riwayat Nasa’i[6]

عَنْ اَبِى اُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رضي الله عنه قَالَ رَ سُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ
مِنَ الْعَمَلِ اِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًاوَابْتَغِيَ بِهِ وَجْـهَهُ
Dari Abu Umamah Al-Bahiliy Radhiyallahu’anhu ,ia berkata: Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amal kecuali yang ikhlas untuk-Nya dan bertujuan untuk mecari ridlo-Nya.”

D.    Kesimpulan dan Pendapat serta Penjabaran tentang menggapai Ikhlas dalam beribadah dengan meluruskan niat

1.      Menggapai Ikhlas dalam beribadah dengan meluruskan niat
            Tujuan yang hendak dicapai manusia dalam segala aktivitas, baik dalam ubudiyah maupun  muamalah hanyalah satu, yaitu mendapatkan ridlo Allah Subhanahu Wata’ala. Oleh karena itu, bila suatu aktivitas diniatkan bukan untuk mencari ridlo-Nya maka ia akan menjadi sia-sia (tidak berguna).
            Ketahuilah semua manusia akan binasa kecuali orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang berilmu semuanya binasa kecuali orang yang beramal, dan orang-orang yang beramal akan binasa kecuali orang-orang yang ikhlas dan orang yang ikhlas ini berada dalam bahaya yang besar. Seperti dalam firman-Nya surah Al-Bayyinah ayat 5.
            Amal perbuatan tanpa niat yang ikhlas adalah riya, dan riya itu sebanding dengan nifaq dan riya kedudukannya sama dengan durhaka. Ikhlas tanpa kebenaran dan pembuktian laksana debu yang beterbangan di angkasa. 
            Dari ayat-ayat diatas mengenai firman Allah Subhanahu Wata’ala tentang perintah-Nya untuk melakukan ibadah dengan Ikhlas. Ayat-ayat itu saling berkaitan, dimana perintah akan beribadah dengan hanya mengharapkan ridlo-Nya dengan keikhlasan, dan keikhlasan akan terwujud dengan adanya niat yang baik dan benar. 
            Pada surah Al-An’am ayat 162 dan 163 sangat berkaitan, dimana ayat tersebut sering kita lafalkan dalam sholat kita setelah takbiratul ihram. Dalam do’a ifitah, kita selalu berdo’a berserah diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala bahwa “Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Dan tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)", sangat jelas dalam surah Al-An’am ayat 162 dan 163 tersebut kita menyerahkan ibadah, hidup dan mati kita hanya kepada-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya.
            Secara garis besar Kandungan QS. Al-An’am ayat 162-163 yang saya ambil dapat disimpulkan bahwa:
  1. Perintah Allah Subhanahu Wata’ala pada umat-Nya untuk berkeyakinan bahwa shalatnya, hidupnya, dan matinya hanyalah semata-mata untuk Allah Subhanahu Wata’ala.
  2. Allah Subhanahu Wata’ala adalah Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya.
  3. Perintah Allah Subhanahu Wata’ala pada umat manusia untuk ikhlas dalam berkeyakinan, beribadah, beramal, dan menjadi orang pertama dalam kaumnya yang berserah diri kepada-Nya.
  4. Senantiasa beramal shaleh dan menjauhkan segala larangan-larangan Allah Subhanahu Wata’ala agar selamat di dunia dan akhirat.

            Ayat tersebut juga berkaitan dengan surah Az-Zumar ayat 1 dan 2, bahwa Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan kepada kita untuk beribadah dengan ikhlas dengan hanya mengharapkan ridlo-Nya tanpa sekutu yang lainnya. Begitu pentingnya perintah Allah Subhanahu Wata’ala tentang ibadah dengan ikhlas sampai diulang kembali dalam surah Az-Zumar ayat 11, firman-Nya. "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Jadi sangat jelas dan tegas perintah Allah Subhanahu Wata’ala tentang ibadah dengan Ikhlas melalui niat yang benar dan mengharap ridlo dari-Nya.
            Al-Mirzabani Rokhimahullah berkata, “ Orang yang mengerjakan sholat memmbutuhkan empat sifat agar sholatnya terangkat (diterima), yaitu: kehadiran hati, persaksian akal, ketundukan dan kekhusyukan anggota badan. Barangsiapa mengerjakan sholat tanpa kehadiran hatinya, berarti dia main-main dalam sholatnya. Barangsiapa sholat tanpa menyaksiakan dengan akalnya, berarti dia lupa dalam sholatnya. Barangsiapa mengerjakan sholat tanpa ketundukan anggota badannya, berarti dia mengerjakan sholat dengan kering/kaku dalam sholatnya. Barangsiapa mengerjakan sholat dengan tidak khusyu’, berarti dia salah dalam sholatnya. Karena itu barangsiapa mengerjakan sholat dengan empat rukun ini, berarti dia telah sempurna dalam mengerjakan sholatnya.
            Menurut Al-Harits Al-Muhasibi dalam kitab Ar-Ri’ayah. Dia berkata, “Ikhlas adalah engkau beribadah dan taat kepada Allah hanya mengharapkan Allah Subhanahu Wata’ala dan tidak mengharapkan selain-Nya.”Abu Utsman berkata, “Ikhlas ialah melupakan pandangan makhluk dengan selalu melihat kepada sang Khaliq (Allah Subhanahu Wata’ala)
            Syeikh Muhammad bin Salih Al-Utsaimin berpendapat bahwa ikhlas karena Allah artinya apabila seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dan mencapai tempat kemuliaan-Nya.
            Dari berbagai pendapat yang ada, dapat disimpulkan bahwa ikhlas adalah hanya mengharapkan ridlo-Nya dan mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan ibadah yang sempurna. Dalam hadist-hadist diatas juga saling berkaitan dengan ayat A-Qur’an. Di dalam hadist yang pertama dijelaskan bahwa “Sesungguhnya semua amalan itu bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang hanya akan memperoleh (balasan pahala) sesuai dengan yang ia niatkan”, Sangat jelas bahwa apa yang kita niatkan dalam hati kita, maka itu bua dari amal perbuatan kita. Bahkan diisyaratkan barang siapa hijrah bukan karena Allah dan Rasul-Nya maka hanya yang dia niatkan yang akan ia dapatkan. Di hadist kedua mengisahkan bahwa Rasulullaah yang sudah jelas dosanya terampuni saja masih melaksanakan perintah Allah, bakan mengerjakan ibadah sunnah sampai kaki beliau bengkak. Sedangkan kita yang belum jelas amal ibadahnya diterima atau tida masih enggan untuk melaksanakan ibadah dengan hanya mengharapkan ridlo-Nya. Hadist ketiga menjelaskan tentang larangan untuk menyekutukan Allah. Hadist keempat menjelaskan bahwa Allah Subhanahu Wata’ala tidak melihat wajah kita, hanya melihat apa yang ada didalam hati kita, Karena Allah Maha Mengetahui segalanya. Hadist kelima menjelaskan tentang perintah untuk beribadah dengan Ikhlas. Dapat disimpulkan dari berbagai hadist yang ada, bahwa kita harus memperbaiki niat kita agar ibadah yang kita jalankan bisa mencapai ikhlas dalam menggapai ridlo-Nya.
            Ikhlas adalah hasil dari niat yang baik, sedangkan riya’ adalah hasil dari niat yang buruk. Keduanya saing berlawanan, bai yang beriman kepada Allah dan selau mengharap ridlo-Nya, maka ia pasti akan memperbaiki niatnya. Sehingga ia mendapatkan predikat mukhlisin (orang-orang yang ikhlas).
            Mari kita belajar bersama untuk menggapai ikhlas dalam beribadah dengan memperbaiki niat kita, dengan:
  1. Banyak berdo’a
  2. Menyembunyikan amal kebaikan
  3. Memandang rendah amal kebaikan
  4. Takut akan tidak diterimanya amal
  5. Tidak terpegaruh oleh perkataan atau pujian manusia
  6. Menyadari bahwa manusia bukanlah pemilik surga dan neraka


DAFTAR PUSTAKA

Abu Zakariya Yahya Ibnu Syaraf An-Nawawi, Al-Imam Muhyiddin. 2006. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi.Yogyakarta: Media Hidayah.
Al-Kandahlawi, Syaikh Muhammad Yusuf. 2007. Muntakhab Ahadist dalil-dalil pilihan enam sifat utama. Yogyakarta: Ash-Shaff.
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. 1980. Tafsir Al-Maraghi juz 23. Semarang: CV. Tohaputra.
Khoiri, Miftahul. 2006. Kumpulan Hadist Qudsi beserta Penjelasannya. Yogyakarta: Al-Manar.


[1] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi juz 23, cet.1, (Semarang: CV. Tohaputra, 1980), hal. 244.
[2] Al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya Ibnu Syaraf An-Nawawi, Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi, Cet.1, (Yogyakarta: Media Hidayah, 2006), hal. 17.
[3] Al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya Ibnu Syaraf An-Nawawi, Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi, Cet.1, (Yogyakarta: Media Hidayah, 2006), hal. 19.
[4] Miftahul Khoiri, Kumpulan Hadist Qudsi beserta Penjelasannya, Cet.2, (Yogyakarta: Al-Manar. 2006), hal. 505.
[5] Syaikh Muhammad Yusuf Al-Kandah, Muntakhab Ahadist dalil-dalil pilihan enam sifat utama, cet. 2, (Yogyakarta: Ash-Shaff, 2007), hal. 540.
[6] Syaikh Muhammad Yusuf Al-Kandah, Muntakhab Ahadist dalil-dalil pilihan enam sifat utama, cet. 2, (Yogyakarta: Ash-Shaff, 2007), hal. 548.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar